Ulasan Suka Suka : Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Posted in Uncategorized on Januari 9, 2018 by monskill
 
Hanya butuh waktu empat hari saya menuntaskan buku karya Yusi Avianto Pareanom, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Buku ini nge-hits banget tahun kemarin, menjadi perbincangan banyak penikmat sastra berbagai kalangan dan berhasil memenangkan beberapa lomba karya sastra, salah satunya dinobatkan sebagai Prosa Terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Setelah ‘ngampet’ hampir setahun lamanya, akhirnya tunai sudah rasa penasaran saya akan novel ini.
Lumayanlah. Tentu saja ‘lumayan’ saya tersebut tidak bisa menafikan fakta bahwa ini salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.
 
Kekuatan buku ini terletak pada kelihaian si pengarang dalam pemilihan kata. Semua pasti mengamini, dua formula utama untuk menghasilkan tulisan bagus adalah diksi dan penyematan diksi tersebut dalam rangkaian kalimat yang akan membentuk paragraf. Kelihaian pengarang akan diksi ditentukan oleh pengalaman literasinya; seberapa banyak karya sastra yang telah dia tulis atau baca, juga faktor lain yang mampu memperkaya pengalamannya tersebut, semisal kegemarannya nonton film. Kata-kata baru yang unik yang belum pernah saya temui bertebaran di novel ini, dan bagi saya itu hal yang menarik.
 
Pengarang juga berhasil menuturkan setiap detil peristiwa secara apik, lengkap dan runut, karena ‘the devil is in details’ itu benar adanya. Untuk dapat menikmatinya saya harus membaca dengan hati-hati dan pelan-pelan, kalau perlu satu kalimat saya baca ulang. Semisal saya membaca dengan sambil lalu saja, sudah tentu saya akan kehilangan detil yang memukau tadi. Misalnya pengetahuan Raden Mandasia perihal sapi, bagaimana cara memotong urat leher sapi agar darah tidak sampai muncrat berleleran kemana-mana, apa itu lamusir, daging tanjung, daging sengkel, dan lainnya. Bagaimana teknik memasak tiap bagian daging tersebut sehingga tercipta hidangan dengan kelezatan tiada tanding. Semua pengetahuan tersebut hanya dimiliki oleh tukang jagal handal juga koki profesional.
 
Keunikan lain dari novel ini adalah penamaan para tokoh yang terkesan ‘njawani’. Misalnya klan Banyak Wetan, paman si Sungu Lembu, dia menamakan ketiga adanya dengan Wulu Banyak, Jengger Banyak dan Tlapak Banyak. Bagi orang Jawa tentu familiar dengan nama-nama tersebut. Unsur komedi yang kental disana-sini, juga kegemaran Sungu Lembu yang konsisten mengumpat tak urung membuat saya tersenyum simpul dan menimbulkan rasa geregetan yang menyenangkan.
 
Pengarang juga menyelipkan percakapan cabul antar tokoh namun masih dalam tataran kewajaran, bukan jenis penjabaran aktivitas seksual puitis yang bisa membuat ‘turn on’ atau rujukan bahan coli, setidaknya untuk saya pribadi. Menjelang bab akhir kesabaran saya jebol juga. Jujur saya melewatkan adegan duel antara Watugunung dengan Pangeran Awatara. Namun jangan khawatir, sebagai penutup pengarang berhasil memberikan klimaks yang mengejutkan.
 
Beberapa adegan yang masih membekas di ingatan saya diantaranya saat Raden Mandasia ternyata juga menggilir Mayssa, seorang penyanyi dari Goparashtra yang malam sebelumnya tidur seranjang dengan Sungu Lembu. Bukannya marah, justru sebaliknya Sungu Lembu bersikap tak acuh. Hal itu mebuat Raden Mandasia merasa bersalah juga canggung dan Sungu Lembu sangat menikmati kecanggungan sikap teman berkelananya itu.
 
Adegan lain ketika Sungu Lembu bertemu kembali dengan gadis yang memperjakainya dulu, Melur. Setelah lewat lima tahun, Melur mempunyai dua anak dengan ayah yang berbeda. Mereka berdua bersepakat hidup bersama tanpa meributkan apa yang masing-masing telah mereka alami di jeda waktu perpisahan mereka.
 
Secara keseluruhan novel ini sangat layak untuk dibaca, menggugah rasa penasaran yang akut, membuat saya susah berhenti sekaligus memaksa saya untuk segera sampai di halaman terakhir. Meskipun bukan jenis bacaan yang setelah saya tuntas membaca menimbulkan keinginan untuk membaca kembali. Beda soal dengan Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, saya membaca ulang dan tiada jemu jua.
 
Baiklah, ini memang perkara selera semata.

Rekonsiliasi empat puluh

Posted in Uncategorized on September 22, 2017 by monskill

Kenapa hidupmu begitu rumit ?

Kenapa kamu membuat hidupmu begitu rumit ?

Aku kangen kamu. Banget-banget. Setelah di satu pagi yang masih mentah aku tersedu-sedu di sudut kamar, tanpa sengaja menemukan pesanmu yang terlambat aku baca hampir separuh tahun lamanya. Beginikah rasanya menjadi seseorang yang sempat singgah di ingatanmu ? Meski setelahnya, tak sampai hitungan hari, aku telah terlupakan, aku tak peduli. Aku sempat singgah di ingatanmu, itu sudah cukup bagiku.

Dan sore tadi, kutemukan kembali pesanmu yang sama di tempat yang berbeda. Aku terperangah. Rinduku membuncah. Aku mengais-ngais kembali jejakmu yang samar di masa silam. Tak banyak yang bisa aku temui. Rapi nian kamu simpan jati diri. Hanya beberapa gelintir teman yang bisa aku tanyai. Itupun sebatas penggalan-penggalan kisah tak utuh ibarat puzzle yang tak selesai.

Pernahkah — sekali saja — kamu memikirkan tentang dirimu yang berhasil membelokkan jalan hidup seseorang ? Pernahkah kamu — pada hirukpikuk hari-harimu — sempat bertanya bahwa yang telah kamu lakukan di masa lalumu berdampak pada diri seseorang ? Pada titik ini, bayanganku akan dirimu adalah sesosok ringkih kurus yang letih, terdampar dalam lelap tidur yang tak nyenyak di sudut kursi subway di belantara kota New York, tergeragap oleh tepukan seseorang di bahumu yang membuatmu terbangun dengan hidung mimisan. Setidaknya begitulah skenario yang aku buat berdasar ceritamu.

Masih jernih di labirin ingatanku saat awal pertama kita bertatap muka. Dikala ponsel masih merupakan barang langka, janji bertemu tepat waktu cukup bermodal separuh percaya. Separuhnya lagi perjudian. Hari A jam sekian di hotel pusat kota dimana kamu menginap saat bertugas meliput pertandingan basket di GOR kota tersebut. Berboncengan dengan seorang teman, kupacu sepeda motorku menuju timur. Dan kemudian kita berjumpa. Kutemukan sosok tubuh jangkung dan mata sipit dengan sorot tajam. Kamu mengajak kami (aku dan temanku) berbincang di warung makan seberang hotel. Kita makan siang di sana saja, tukasmu. Seingatku aku memesan babi kuah, tapi rasanya tidak mungkin karena waktu itu aku masih berjilbab dan belum nakal. Jadi mungkin aku memesan ayam masak madu, atau apalah, yang jelas ada kuahnya. Bersamamu turut serta sigaret Marlboro merah lengkap dengan pasangannya; zippo kotak warna perak. Juga pager. Iya, radio panggil. Jaman itu, alat komunikasi paling canggih adalah pager dan hanya orang-orang tertentu yang sanggup memilikinya, misalnya wartawan, seperti dirimu kala itu. Obrolan kita? Tak ada yang penting. Selain kisahmu waktu pertama kali bekerja di media cetak raksasa di negeri ini. Kamu satu-satunya peserta ujian masuk pegawai di kantor tersebut yang berambut gondrong tanpa dasi yang lolos seleksi. Juga selentingan gosip bahwa salah satu dedengkot sastra wangi menjadi cem-ceman penggiat Salihara atas bayaran terbitnya novel Saman. Aku yang tinggal di pelosok mana paham intrik begituan. Lagipula, aku terlalu sibuk terpana dengan pertemuan kita.

Kemudian kita berpisah begitu saja. Kamu pergi melanglang buana. Aku sibuk dengan hidup keseharian yang remeh temeh. Berjarak puluhan tahun dari pertemuan perdana kita, kamu hadir kembali sebagai segores pesan, tanpa muatan apa-apa, sebatas menyapa kenalan lama. Mungkin saja aku yang terlalu mendramatisir keadaan, tapi mana aku peduli? Aku hanya tiba-tiba kangen kamu. Kangen yang bandel. Tak kenal jera. Aku sadar, sadar sesadar-sadarnya, meski nanti — entah kapan — pertemuan kita yang kedua dan seterusnya utopia semata, aku tak mengapa.

Tanpa perlu aku bilang, kamu pasti paham bahwa aku mencandui kerumitan hidupmu — atau hidupmu yang sengaja kamu bikin rumit. Mungkin saja aku hanya sekedar salut atas pilihanmu itu. Tak banyak orang yang memilih jalan terjal seperti yang kamu tempuh itu karena konsekuensinya terlalu besar. Semata-mata demi memegang prinsip yang terlanjur menjalar di urat nadi. Bahwa kebaikan akan tetap sebagai kebaikan, apapun rupa bungkusnya. Dan sebaliknya. Orang normal kebanyakan memilih menyerah pada kompromi. Sah-sah saja. Tak ada yang melarang. Jangan pula menyalahkan pihak lain bila kelak di sisa usia dirimu terpenjara kebosanan.

Jadi aku hanya ingin bilang, baik-baik kamu di sudut bumi manapun kamu berada sekarang. Akan aku ingat pula pesanmu tentang konsep penerimaan satu paket. Karena memang nyatanya kita tidak bisa memilih yang enak-enak saja apapun yang telah-sedang-akan kita hadapi. Dengan begitu niscaya hidup lebih mudah dijalani. Dan tetaplah sibuk, lanjutmu, syukur-syukur bisa produktif dan menghasilkan duit, walaupun tidak melulu seperti itu. Karena pikiran yang kosong akan menjadi liar dan percayalah itu akan menyakiti dirimu sendiri dan orang-orang yang kamu sayangi.

Yasudah. Begini saja ungkapan rasa kangenku padamu. Terima kasih telah mampir dalam hidupku. Kamu salah satu dari beberapa hal terbaik yang aku miliki setelah Ra. Tabik.

Reguluk

Posted in Uncategorized on April 1, 2017 by monskill

pernah ga kamu sebel sama diri kamu sendiri? sebel aja, ga sampe pada level depresi trus pengen suicide, gitu. ya sebel sama ketidakbecusan diri sendiri buat ngatur kinerja diri. semacam, sebenernya kamu ngerti banget apa yang kamu lakuin itu ngga bener dan harus kembali ke jalur yang semestinya. misalnya kamu seharusnya ngelakuin sesuatu yang penting, sesuatu yang emang-harus-kamu-lakuin-saat-itu-juga-gapake-acara-ditunda-buat-besok-atau-kapan-kapan, tapi kamu memilih untuk ngga ngelakuin hal itu tadi, mungkin emang kamu lagi ngga pengen ngapa-ngapain atau kamu milih ngelakuin sesuatu yang jauh lebih ngga penting. intinya kamu males buat ngelakin hal penting tersebut tepat waktu. dan kamu sadar sesadar-sadarnya, beserta konsekuensinya atas pilihan untuk bermalas ria tadi, tapi tetep aja itu ngga berhasil mengenyahkan kemalasanmu. jadinya sebel-ception.

saya pernah ngalamin kayak gitu. sering malah. seperti sekarang ini. seharusnya saya ngelakuin hal penting ini itu banyak banget, tapi saya milih buat ngelembur nonton drakor ‘weightlifting fairy kim book-jo’. yagitudeh. saya terlalu lemah di hadapan tumpukan judul drakor di HD eksternal saya. akibatnya, pekerjaan utama saya terbengkalai dan badan lesu plus mata sayu karena saya baru beranjak tidur jam 2 pagi dan terbangun jam 5 pagi. pukul berapapun mata saya terpejam di malam hari, otomatis sebelum jam 6 pagi saya pasti sudah terbangun karena ritme sirkadian saya sudah terprogram seperti itu. sebenernya cukup juga sih tidur selama 3 jam itu.

oya, ‘weightlifting fairy kim book-jo’ menceritakan kisah cinta seorang cewek atlet angkat besi bernama kim book-jo dengan seorang cowok atlet renang bernama jung joon-hyung di sebuah universitas khusus untuk para atlet. bukan kisah cinta yang mbulet dan penuh intrik. yang menarik mungkin dialog para pemain yang sedikit cerdas walaupun tidak sampai taraf hilarious. juga cerita yang lebih mendekati kenyataan sehari-hari dibanding serial drakor lain. misalnya tokoh antagonis song shi-ho, yang tidak lain mantan kekasih jung joon-hyung, meskipun sempat berbuat jahat kepada kim book-jo, tiap bertemu kim book-jo matanya tidak perlu mendelik khas cerita sinetron indon. karena fokus saya ke kisah cinta mereka berdua, tentu saja banyak adegan yang terkena skip saya. dan tetep ada aja yang menggangggu, masa iya gerombolan cewek-cewek atlet angkat besi yang tiap hari latihan angkat barbel puluhan kilogram yang senantiasa bersimbah keringat dan lari keliling lapangan saat matahari sudah bersinar terik dan tinggal di asrama yang otomatis tidak bisa leluasa pergi ke salon kecantikan rata-rata semua punya kulit wajah semulus kristal? lagi-lagi, ya sah-sah saja, namanya juga drakor. kemudian saya juga ngelantur, kenapa kalau sinetron indon yang sama-sama menjual tampang para pemainnya seperti drakor tidak berinovasi sedikit dengan mencontek dialog rada cerdas di serial drakor? kita kan jago dalam hal meniru apapun. trus para script writer sinetron indon itu dengan enteng ngejawab, dikasih cerita sampah aja rating udah tinggi, ngapain susah-susah mikir bikin naskah yang bermutu? oiya ding. kalo ceritanya bagus nanti namanya bukan sinetron indon. oya, seblom nonton ‘weightlifting fairy kim book-jo’, saya juga sempet nonton ‘heard it through the grapevine’. dan saya lebih milih ‘weightlifting fairy kim book-jo’ soalnya apalagi kalau bukan karena lebih lucu.

yah begitulah kenapa saya sebel sama diri saya sendiri, yang menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga demi serial drakor. mungkin saya memang tidak bakat menjadi orang sukses di dunia fana yang materialistik ini. di benak saya, orang sukses pasti hidupnya jauh lebih menderita. dibanding dengan perjuangan yang mereka lakukan untuk sampai ke singgasana kesuksesan yang telah mereka raih, apa yang saya jalani sehari-hari tidak ada apa-apanya, bahkan pun seujung kuku hitam mereka. tapi pasti kuku mereka tidak sampai menghitam, pasti sudah terpotong rapi karena banyak relasi, mereka harus merawat kuku mereka demi kepentingan untuk berjabat tangan dengan para relasi mereka yang banyak tadi. atau kalau mereka memanjangkan kuku, pasti mereka rajin meni-pedi.

lagian, ukuran kesuksesan itu seperti apa? tiap orang punya standar masing-masing. beberapa waktu yang lalu, mom pernah nyeletuk, ga pengen punya suami lagi? mumpung belom tua-tua amat. saya jawab, ga mom, udah ga minat. ini bukan masalah trauma karena gagal dua kali. tapi saya sadar betul, saya bermasalah menjalin hubungan dengan orang asing. padahal usaha saya berdagang, jual produk, tiap hari bertemu pembeli. jadinya di mata orang saya tidak serius menjalankan usaha saya karena saya tidak pandai merayu customer. mau beli ya monggo, tidak mau ya silahkan pergi. sisi baiknya, di titik ini saya mempercayai adanya the invisible hand, atau tuhan bagi kaum beriman. nyatanya saya tetep dikasih rejeki yang datang dari arah yang berseberangan dengan logika bisnis. mom melanjutkan pertanyaannya, trus mau kamu apa? saya berpikir tak sampai sedetik teringat angsuran bank tiap bulan yang tak sampai dua digit aja bikin saya megap-megap, belum nanti biaya kuliah ra. saya mantap menjawab, saya ingin kaya, mom. mom menimpali ringan, kaya itu masalah hati. kamu sudah kaya, wong berapapun duitmu, kamu ga pernah mengeluh kekurangan kok. saya nyengir, mom emang the best lah.

kembali ke soal relasi dengan orang tadi, saya akui kelemahan saya yang satu itu. i can’t deal with people, mostly. temen saya yang sanggup bertahan dengan saya sampai sekarang ya itu-itu saja, tak sampai hitungan jari satu tangan, ga nambah, menyusut iya, terseleksi dengan sendirinya. di sekeliling saya banyak paparan contoh, pasangan suami istri yang secara sembunyi-sembunyi maupun blak-blakan mempunyai masalah terhadap satu sama lain, toh mereka tidak bercerai. ya tentu saja alasan status. terlalu naif kalau bilang karena mereka saling mencintai. tapi mungkin saja benar, dia adalah pasangan saya, istri/suami saya, sudah pasti saya mencintainya, saya rela berkorban perasaan demi utuhnya mahligai rumah tangga ini, mungkin begitu pemikiran mereka. memangnya cinta seperti itu? ya bisa juga sih. ngga ding, cinta memang seperti itu, bisa ngelakuin apapun di luar nalar. pertamanya saya kasihan melihat pasangan suami istri yang sudah tidak ada kecocokan satu sama lain namun tetap bertahan untuk tidak berpisah, kok mau-maunya sih, hidup terlalu singkat untuk dilewatkan dengan orang yang salah. setelah tahap kasihan, level berikutnya saya ngiri, kok bisa sih sampai tua berakting se-brilian itu, bangun tidur di pagi buta ketika mata masih berat untuk membuka, pemandangan yang tersaji adalah muka menyebalkan yang sama seperti pagi kemarin. setelah ngiri kemudian saya salut, kudos! kekuatan cinta yang menyatukan mereka. eksplanasi panjang lebar itu sekedar mempertegas status saya yang menyedihkan di dunia fana yang materialistik ini. tapi memang begitulah dunia bekerja.

oke, trus apa arti reguluk di judul postingan saya kali ini? jadi ceritanya, setengah tahun kebelakang akhirnya saya menemukan kesamaan hobi dengan mom yaitu berkebun. lebih spesifik lagi, menanam bunga. meski dengan alasan yang berbeda. mom sebagai terapi menghindari demensia dini seperti yang dilakukan galina ‘red’ reznikov, orang rusia teman satu sel piper chapman di serial orange is the new black. sedangkan saya, saya ingin merealisasikan mimpi utopis saya tentang taman bunga seperti di film the secret world of arrietty, mungkin kelak para borrower bisa mampir kesana. nha, reguluk itu nama lain dari bunga mawar. mawar lokal maksudnya. sebenarnya bukan reguluk, saya searching di google, saya tak menemukan kata tersebut. ternyata yang di maksud mom reguluk adalah regulo, ya bunga mawar lokal tadi, namun karena aksen jawa bercampur logat yang medok, regulo menjadi reguluk. akhir-akhir ini saya banyak memikirkan istilah jawa yang sudah jarang saya temui dalam percakapan informal sehari-hari. misalnya, songlen yang artinya pucuk daun yang masih muda. kemudian longan, artinya tempat tidur. jadi kalimat ndelik neng sor longan artinya bersembunyi di kolong tempat tidur. dan masih banyak lagi yang mendadak sekarang saya lupa karena sudah mengantuk.

sekian dan terima peluk.

 

Sneaky Pete (2015 – )

Posted in Uncategorized on Februari 22, 2017 by monskill

Mungkin gue termasuk orang yang beruntung. Disamping kesibukan remeh-temeh keseharian semisal menjahit buat dapet duit, gue masih bisa sedikit berkelit dengan mencuri waktu untuk menonton film. Jadi mumpung masih anget dan bau (lhah!), gue mau cerita-cerita dikit tentang Sneaky Pete, serial TV produksi Amazon Studio yang barusan kelar gue tonton kemarin. Bukan review sih, wong asal bacot aja ini tulisan. Bukan pula spoiller, gue ga akan kasih tau jalan ceritanya Sneaky Pete kok. Lebih asyik kalian tonton sendiri. Sumpah. Gue cuman mau cerita adegan-adegan yang masih nempel di ingatan gue, biar kalian tambah penasaran. Gue lagi-lagi beruntung, meski ga pasang Netflix, selama DewaNet (warnet di dekat kontrakan rumah gue) blom kukut, hasrat nonton film gue masih bisa tersalurkan. Cukup buat blahblah-nya, sekarang waktunya ngomongin Sneaky Pete.

Sneaky Pete keren sangat. Setelah era Breaking Bad, baru kali ini gue nonton film serial yang sanggup menggerakan hati gue buat bikin tulisannya. Dulu pas kelar nonton Breaking Bad, sedianya gue juga mo nulis tentang itu, tapi ternyata ga terealisasi. Biasalah masalah mood. Kasus yang sama terjadi setelah gue kelar nonton Girls yang ada Mbak Lena Dunham-nya, juga The Sopranos, ato Curb Your Enthusiasm, ato Six Feet Under, ato Shameless, ato You’re the Worst, dan yang lainnya. Yang terakhir itu, You’re the Worst, adalah bukti sahih kalo cowo cerdas plus lucu yang rajin mengutip literatur cuman eksis di film. Gue yakin banget kalo Jimmy Shive-Overly ga hidup di dunia nyata. Lhah blahblah lagi.

Oke, jadi Sneaky Pete menceritakan sepak terjang Marius, con artist yang baru keluar dari penjara trus menyaru sebagai Pete. Pete adalah teman sekamar Marius pas di penjara, yang kerjaannya meracau tanpa henti tentang masa kecilnya dulu yang sempurna banget, yang sangat disayang oleh kakek dan neneknya. Marius sendiri meski sudah menjadi ex-con artist pastilah punya kehidupan yang rumit dan berwarna. Con artist (confidence artist) dalam arti yang sederhana adalah seorang penipu. Dia menipu apapun atau siapapun untuk mendapat uang. Frank Abagnale adalah contoh con artist yang kehidupannya sampai diangkat ke layar lebar melalui film Catch Me If You Can yang diperankan oleh Mas Leonardo DiCaprio itu. Marius dipenjara selama tiga tahun karena berpura-pura merampok sebuah bank demi melarikan diri dari kejaran anak buah Vince, kepala gangster pemilik kasino sekaligus bos dia yang akan dia tipu. Setelah keluar dari penjara, Marius mendatangi rumah Pete dan mengatakan bahwa dia adalah Pete, cucu dari keluarga tersebut yang telah menghilang selama dua puluh tahun. Bagaimanapun sempurnanya skenario Sneaky Pete yang ditulis oleh David Shore (House, 2004) dan Bryan Cranston (Breaking Bad, 2008, ha!) ini tetaplah menyisakan ‘lubang’. Walaupun sudah tidak bertemu muka selama dua puluh tahun, masa iya seisi rumah tidak ada satupun yang mengenali wajah Pete yang asli. Tapi ya sah-sah saja begitu, namanya juga film. Selain gagal menipu Vince karena keburu ketahuan, ternyata Marius telah menghabiskan ribuan dolar uang Vince. Tentu saja Vince tidak terima dan terus memburunya. Setelah sukses ‘bersembunyi’ selama tiga tahun di penjara, Marius harus menemukan tempat persembunyian yang baru. Masuklah dia ke keluarga Pete. Sebenarnya dia tidak berencana tinggal lebih lama di keluarga tersebut, namun ternyata Vince telah menyandera Eddie, adik Marius sebagai jaminan. Marius harus membayar hutangnya kepada Vince, kalau tidak Vince akan memotong jari Eddie satu persatu dan Vince memastikan Marius menerima potongan jari adiknya tersebut. Marius hanya punya waktu seminggu untuk mengumpulkan uang ribuan dolar tersebut.

Marius harus putar otak dan bergerak cepat. Kebetulan keluarga Pete bergerak di bisnis bail-bond, yang artinya gue sendiri ga ngerti, mungkin semacam usaha debt-collector namun berurusan dengan pengadilan. Yang jelas bisnis keluarga tersebut menyediakan uang tunai dalam jumlah banyak. Di kantor keluarga tersebut juga terdapat brankas besi yang Marius yakini menyimpan uang dalam jumlah besar. Nha, Marius berusaha menjebol brankas tersebut demi menyelamatkan adiknya tersebut. Karena dasarnya Marius pinter, sedari awal Marius berencana menipu – lagi, bahkan kalau perlu merampok Vince. Dari situlah petualangan Marius dimulai.

Jangan khawatir, meski semi thriller, banyak adegan yang membikin tersenyum. Semisal di episode 2 ketika Marius meminta bantuan Katie temannya sesama con artist, dia sadar ada mobil di seberang jalan yang sedang mengawasi kamar mereka. Marius berkata kepada Katie , “Hey, I’m going to need a favor. That thing you did in Wichita. Do you remember that?” Trus Katie menyahut, “Are you fucking serious?” Sam, pria di dalam mobil yang ternyata orang suruhan Audrey, nenek Pete, yang sedang mengawasi mereka sembari meneropong ke jendela kamar yang kordennya sedikit tersibak berujar lirih, “Thank you, universe.” Ternyata Marius meminta Katie telanjang dan mempertontonkan tocilnya untuk menghapus kecurigaan Sam.

Ada ‘lubang’ lain di skenario Sneaky Pete yang lumayan mengganggu. Masa iya ada kebetulan yang berulang dua kali? Kebetulan pertama terjadi ketika Surat Ijin Mengemudi milik Marius yang terselip di bagian belakang mobil Taylor hampir saja ditemukan oleh Taylor ketika dia sedang membersihkan mobilnya tersebut dengan penyedot debu. Penonton sudah deg-degan, sangat mungkin identitas Marius akan terbongkar ketika mendadak ponsel Taylor berbunyi yang otomatis menginterupsi aktifitasnya dalam membersihkan mobilnya tersebut. Kebetulan kedua terjadi ketika Dektetif Winslow mendatangi kantor Taylor untuk menanyakan keberadaan Marius sembari membawa foto Marius. Lagi-lagi bunyi dering ponsel menyelamatkan Marius. Sedetik sebelum Winslow mengangsurkan foto Marius kepada Taylor, ponselnya berbunyi. Winslow urung menyerahkan foto Marius ke Taylor.

Oiya, ternyata Vince diperankan oleh Bryan Cranston yang tak lain dan tak bukan adalah The Almighty Walter White. Hhee.

 

DRAKOR

Posted in Uncategorized on Februari 8, 2017 by monskill

Aku akui, akhir-akhir ini aku jarang ke toko buku. Selain alasan klasik tak punya waktu tersisa untuk melancong kesana, alasan lain adalah karena memang aku tak punya alokasi dana tetap untuk aku hamburkan di tempat itu. Bukannya tak mau, tapi memang tak ada. Atau memang tidak ‘memaksakan diri’ untuk rutin membeli buku tiap bulan, misalnya. Entahlah, ada saja keperluan ini itu yang sanggup mengesampingkan kebutuhan untuk mempunyai buku – entah novel atau buku apapun – seperti cita-citaku kala muda dulu. Ya sudah.

Namun hari ini aku menyempatkan diri singgah ke sebuah toko buku besar di kota ini. Setengah skeptis aku mengetik ‘Raden Mandasia’ di keyboard komputer yang ada di sudut toko untuk mengetahui ketersediaan buku tersebut. Dan memang tidak ada. Dan sependek pengetahuanku, novel ‘Raden Mandasia’ hanya tersedia di toko buku tertentu atau dapat juga memesan via online. Dulu pas pertama kali novel tersebut muncul, aku sudah berniat memesan via online, namun seiring berjalannya waktu keinginan tersebut pupus begitu saja, tergeser kepentingan ini itu. Aku ingin membaca ‘Raden Mandasia’ karena direkomendasikan oleh orang-orang yang aku percaya rekomendasinya. Selain buku tersebut, ada judul lain yaitu ‘Di Tanah Lada’, besutan pengarang muda dengan nama yang membuat lidah Jawa keseleo, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, dan itu nama asli; juga ‘ Dalam Rinai Hujan’ karya Arie Saptaji yang juga ingin aku miliki.

Niat awal aku mampir ke toko buku tersebut untuk membeli tabloid Bola, demi menunaikan janjiku kepada Ra bahwa sepulang dari Jogja aku akan membawakannya tabloid tersebut. Setelah era telolet usai, Ra mulai menggandrungi sepakbola sesuai dengan apa yang sedang digemari teman-teman sepermainannya. Beberapa hari kebelakang ini dia sibuk memelototi selembar rubrik usang olahraga di koran Jateng Pos, bolak-balik dibacanya sampai lembaran kertas tersebut kucel terkena keringat telapak tangannya. Meskipun aku anti-fan kepada kaum lelaki kebanyakan yang punya paketan kesukaan bola-plus-bokep,  aku tidak punya hak untuk melarang Ra mengeksplorasi apapun sepanjang koridor radar pantauanku. Aku berusaha demokratis dalam segala hal meski kadang berbenturan dengan konsep pendidikan anak menurut Mom. Mom berpendapat, ada hal tertentu dimana anak tidak mempunyai posisi tawar, misalnya Ra ke Jogja ketika masa liburan akhir semester tiba, diluar jadwal itu Ra dilarang. Mom ingin aku mengatakan hal tersebut langsung ke Ra tanpa perlu alasan apapun karena menurut Mom Ra telah paham bahwa Ra sudah tidak bisa mengabaikan satu haripun kegiatan di sekolah, beda ketika dia masih TK—membolos beberapa hari tidak masalah. Aku masih berusaha menjelaskan panjang lebar ini itu ke Ra, bernegosiasi, meski akhirnya memang larangan tersebut yang diterapkan. Begitulah. Disatu sisi aku mengerti kekhawatiran Mom, disisi lain aku juga paham betul betapa bungahnya Ra ketika melewatkan hari-harinya di Jogja. Untungnya Ra bukan tipe anak yang sulit diberi pengertian akan hal tersebut.

Mengenai kesukaan Ra akan sepakbola, selain pengaruh teman-teman sebayanya, mungkin ada andil DNA yang didapat dari ayah biologisnya. Sependek memoriku, ayah biologis Ra juga penggila sepakbola. Meskipun dulu kami jarang mengobrol sok-jero tentang sesuatu hal, aku ingat betul dia pernah berceloteh, sepertiga isi otaknya adalah tentang sepakbola. Bukti nyata terpapar di punggung telapak tangan dia yang digambari logo Valencia FC. Hampir sembilan tahun silam ketika perutku masih membuncit dan Ra bersemayam disana, ketika aku membeli tablid Nakita, tak lupa dia juga membeli tabloid Bola, dibacanya dari halaman pertama sampai terakhir tanpa melewatkan satupun hal yang tersaji, mulai dari berita utama sampai staff redaksi yang menggawangi tabloid tersebut, juga iklan-iklan tak penting di sudut tabloid. Begitulah.

Setelah mendapatkan tabloid Bola di tangan, aku beranjak ke deretan rak-rak buku bagian novel. Yang aku dapati membuatku terperangah. Selain novel-novel sampah Tere Liye yang berjejal di area best seller, rak-rak bagian teenlit dibanjiri novel dengan latar belakang cerita negara Korea Selatan. Wow. Mungkin memang aku yang kurang mengikuti trend sehingga tidak mengetahui fenomena ini. Menurutku, bombardir novel korea tersebut adalah efek domino dari hallyu dan kegandrungan drama korea a.k.a drakor yang sedang menjangkiti kaum muda dan tua di Indonesia beberapa tahun kebelakang. Tak dipungkiri, akupun suka drakor, meski belum level fanatik. Kalau memang penggemar fanatik pasti akan hafal wajah dan nama. Aku hanya familiar dengan Kim Woo Bin karena punya senyum sinis. Aku tak pernah suka model muka macam Lee Min Ho karena menurutku wajahnya gampar-able sekali. Aktor lainnya aku tak sanggup membedakan apalagi semisal mereka memakai jilbab, dalam bayanganku akan nampak serupa.

Hanya beberapa judul drakor yang aku bisa tuntas menontonnya dengan skip berkali-kali pada adegan menye-menye slow motion tak penting semisal mata berkaca-kaca menahan tangis yang tak terlalu menyentuh kalbu. Dari segi alur cerita, drakor tak ada apa-apanya dibanding serial produksi Holliwood semisal Breaking Bad yang aku nobatkan sebagai serial terbaik sepanjang hayatku. Tapi beberapa memang sempat mencuri perhatianku semisal ‘Oh Hae Young Again’, juga serial lawas ‘My Lovely Sam Soon’ namun tetap tidak membuatku tergerak untuk mengulanginya menonton lagi. Serial ‘Goblin’ yang digadang-gadang berbeda dari drakor kebanyakan, ternyata hanya begitu saja. Kalau ingin menonton film asia bukan serial, aku rekomendasikan ‘The Vengeance Trilogy’ (‘Sympathy for Mr. Vengeance’, ‘Oldboy’ dan ‘Sympathy for Lady Vengeance’) dan ‘Oldboy’ masih memegang predikat film asia terbaik sepanjang sejarah hidupku.

Moral story dari racauan ini? Tak ada. Selain drakor kadang bikin nagih mirip alkohol. Dan cowok lucu berotak cerdas yang pandai mengutip literatur sastra hanya ada di film. Di dunia nyata semua sama membosankannya.

FOM : sisokrebel yang satu itu…

Posted in Uncategorized on Maret 25, 2016 by monskill

Setiap perjumpaan terselip pembelajaran. Saya percaya itu. Saya sudah membuktikan. Barusan.

Dulu, mantan pasangan saya sudi membuang air kencing saya di kantong plastik penampungan pas saya tergeletak di ranjang rumah sakit paska operasi. Saya tersentuh. Dengan menggebu saya ceritakan peristiwa itu ke teman saya. Teman saya hanya mencibir. Sudah sepantasnya seperti itu, tak ada istimewanya. Saya melongo.

Kamu tidak mengalami itu.

Dulu, sebangsat apapun mantan pasangan saya, saat di dekatnya perut saya tak pernah kelaparan. Seperti ada kesepakatan tidak tertulis bahwa urusan perut terlalu sepele sebagai pemicu perpisahan. Bahwa jika perutmu kempis, maka kewajibanku adalah membikin perutmu kembali buncit. Atau aku kempiskan pula perutku. Dan sebaliknya. Maksudku, ini hanya tentang kegiatan makan rutin sehari-hari, titik. Jangan diperlebar dengan kebutuhan sekunder lain.

Kamu tidak mengalami itu.

Dulu, semurka apapun saya dengan mantan pasangan saya, amat jarang kami bertengkar sampai menaikkan desibel suara diatas rata-rata, apalagi dihadapan khalayak. Kami cukup pandai menyimpan cela diri sehingga yang orang mengerti tak sampai hitungan sepuluh jari. Saya tak perlu memboroskan energi untuk mengumpati tingkah keparat mantan pasangan saya karena kami saling menyakiti dalam sunyi.

Kamu tidak mengalami itu.

Sedari dulu, saya terlalu sombong untuk tergantung dengan pihak lain. Saya segan membikin orang kerepotan karena urusan pribadi saya. Segala sesuatu semaksimalnya saya lakukan sendiri, walaupun gagal datang berkali-kali, saya tak jera jua. Pantang bagi saya merengek remeh temeh tak penting ini itu. Sialnya, kebiasaan saya ini menjadi bom bunuh diri dan bisa jadi berkontribusi ketidakbecusan saya dalam menjalin suatu hubungan. Antara perasaan tidak dibutuhkan dan kemalasan berbuat baik kepada saya, saya ditinggalkan.

Kamu tidak mengalami itu. Belum.

Dulu, punggung saya pernah membiru karena darah yang membeku dihajar kursi plastik disertai caci maki bertubi-tubi. Juga bilur-bilur berbentuk garis memanjang berwarna merah tua karena kulit yang terkelupas. Dalam bisu saya merapal mantra : jangan mati… jangan mati… Sampai sekarang bilur-bilur itu masih setia bersemanyam di sudut hati.

Kamu tidak mengalami itu. Jangan sampai.

Kemudian saya sampai pada satu titik kesadaran bahwa hidup semua orang itu payah. Entah di level yang mana. Dan mereka berusaha mati-matian menampakkan kesan bahwa hidup mereka baik-baik saja. Mereka menutupinya dengan mengumbar keceriaan bombastis yang membuat mual. Tak ada yang salah dengan itu, toh itulah kebahagiaan mereka. Mungkin itulah satu-satunya cara untuk mengaburkan lubang hati yang menganga.

Jadi hei kamu yang disana, aku katakan, kebahagianmu, apapun sebutannya, kamu sendirilah yang berhak menciptakannya. Berhenti membuat pengharapan karena itulah sumber penderitaan, kata Iwan Fals. Berhenti memandang rumput tetangga yang nampak lebih hijau, jika kamu dekati ternyata itu rumput imitasi.

Peluk dan cium buat kamu disana.

FOM : sikul yang satu itu…

Posted in Uncategorized on Februari 5, 2016 by monskill

Pagi itu gue nerima tawaran dia buat berkunjung ke tempat tinggalnya. Udah puluhan taon ga bertemu, ingin betul berbagi cerita dimana gue cuman bisa terperangah pas dia dengan antusias bercerita tentang masa lalu yang sempat kami lewati bersama. Betapa serunya kami dulu naik gunung bareng, ikut latihan karate, ngaji di tempat yang sama, dan seabrek cuilan-cuilan peristiwa yang membikin mulut gue ternganga memaksakan seulas senyum gamang dengan tatapan mata tak yakin. Karena gue emang bener-bener tak punya kenangan tentang itu semua, entah nyelip dimana ingatan gue.

Well, gue sama dia bukan temen akrab. Tapi kami pernah bersama di satu masa, dulu, itu tak bisa dipungkiri. Demi kesopanan gue lebih banyak tertawa jengah dan menganggukkan kepala berulang kali, berharap dia memaafkan payahnya otak gue dalam hal menyimpan memori. Bayangkan, hampir dua puluh tahun kami berpisah dan sekarang kami dihadirkan dalam satu kesempatan untuk mengenang yang telah silam.

Dan ya, pagi itu gue nyanggupin untuk bertandang ke rumahnya yang terletak di pusat kota, jadi akses untuk sampai kesana mudah terjangkau. Katanya dia hanya punya waktu sampai jam 10 pagi, maka gue segera bergegas. Pagi itu diselimuti mendung, suasana yang murung untuk dilewatkan di luar kamar. Tapi gue paksain mengangkat pantat dari kasur. Tak berapa lama, gue sampai di pintu gerbang perumahan yang dia maksud. Gue menunggu kedatangannya untuk dijemput. Tak sampai 10 menit sosoknya yang mungil terlihat diatas motor matik berwarna hitam. Dia melempar senyum lebar, memeluk gue sejenak dan meninju pelan lengan gue, tinju sahabat istilahnya. Ayo, ajaknya.

Meskipun bukan komplek perumahan elit namun rumah-rumah yang berjejer disepanjang jalan yang kami lewati hampir semua mempunyai garasi mobil dan satu dua mobil mulus terparkir disana. Kami terus masuk menuju ke dalam, terlihat pemandangan yang berbeda. Jalan yang mulai menyempit berujung pada gang kecil yang hanya dapat dilalui satu sepeda motor dan deretan rumah mungil berdesakan tanpa halaman. Gue diserang perasaan tidak enak yang sulit dijelaskan. Pada satu rumah dengan jemuran baju tergantung di atas teras yang sempit, dia memperlambat laju sepeda motornya. Jangan berhenti disini, harap gue cemas. Tapi tak urung dia mematikan kunci motor.

Lu parkir disitu aja, gue yang sebelah sini, instruksinya singkat. Ayo masuk, kata dia sembari membuka pintu rumah yang hanya terdiri dari dua lembar triplek yang dijadikan satu, yang sebenarnya belum pantas disebut pintu. Gue dipersilahkan duduk di sofa yang kehilangan warna aslinya sementara dia sibuk menyingkirkan berbagai macam benda yang berebut tempat di kursi panjang tersebut. Tak ada meja sebagai pasangan si sofa. Buru-buru dia masuk ke dalam, ruangan yang hanya bersekat triplek tipis yang gue asumsiin sebagai dapur. Lu gue bikinin kopi ya, sahutnya membuyarkan pandangan gue yang sedang menyapu ruangan. Gue mengiyakan dengan riang, hampir terdengar janggal. Gue mendongak, lagi-lagi triplek sebagai pengganti fungsi asbes. Di titik ini, gue mutusin untuk membenci triplek. Di sebelah dapur, ruangan yang luasnya tak jauh beda dengan ruang tamu yang dijadikan sebagai ruang keluarga nyaris penuh sesak dengan berbagai macam benda rumah tangga, meja belajar anak; almari kayu tua yang nampak berat; televisi dan kulkas yang sudah ketinggalan teknologi; aquarium berisi beberapa ikan yang terlihat sekarat; dan kipas angin yang menghasilkan bunyi berisik. Jelas raut muka kaget gue gagal gue sembunyiin. Sia-sia juga gue membakar sebatang sigaret untuk menghilangkan kecanggungan karena dia hanya tertawa melihat tingkah gue. Dan mengalirlah cerita kami berdua. Tentang hidup yang tak melulu baik-baik saja. Dan pilihan-pilihan yang kami ambil dua puluh tahun silam yang mulai kami cicil konsekuansinya sekarang. Yang penting jangan sisakan penyesalan, petuahnya dengan keyakinan penuh. Dan lagi-lagi gue hanya sanggup mengangguk ritmis.

Dua jam lebih kami bertukar cerita tanpa jeda dan jam dinding yang menunjuk angka 10 menginterupsi kami. Dia pamit menjemput anaknya yang masih TK, gue pamit pulang. Gerimis yang tak berbuah hujan yang mengguyur jalan beraspal membuat gue enggan mengenakan jas hujan. Hawa dingin yang menyergap pori-pori kulit tangan bercampur aduk dengan kecamuk pikiran gue. Sepanjang jalan tak henti gue mengutuki diri sendiri. Betapa cerobohnya gue menilai diri gue sendiri sebagai yang paling sengsara padahal gue baru disentil masalah kecil. Gue tak ada apa-apanya dibanding kawan gue tadi, seujung kuku hitamnya pun belum ada. Sepenting apa sosok gue hingga berani-beraninya gue menggelar perkara gue sehingga semua orang berhak tau dan harus memberi perhatian. Gue tak ada apa-apanya dan gue bukan siapa-siapa. Tidak semua orang perlu tau karena setiap orang berperang di pertempuran mereka masing-masing.

TELOLET

Posted in Uncategorized on Januari 26, 2016 by monskill

Sepuluh tahun dari sekarang, mungkin Ra akan tertawa-tawa membaca postingan ini. Dia nanti akan berumur tujuh belas tahun, tentu sudah punya hobi yang berbeda. Tapi kesukaaannya yang sekarang sungguh membuatku terbahak-bahak setiap saat. Bayangkan, dari bangun pagi sampai nanti menjelang tidur mulutnya tak henti melantunkan berbagai variasi klakson telolet. Belum lagi kalau dia sedang asyik melihat video rekaman telolet di hape nokia xpressmusic — yang berkali-kali diklaim sebagai miliknya – dengan audio yang sudah cempreng memekakkan telinga. Kalau sedang tidak mood, aku balas berteriak, mas Aeeeelll, berisiiiikkk…. Dan dia dengan cueknya ngeloyor pindah ke ruang depan, tetap dengan volume maksimal di hape jadul tersebut.

Kau tau kan, apa itu klakson telolet. Coba ketik di Youtube dengan keyword itu, maka kau akan mengerti apa yang aku maksud. Tentu saja kegandrungan Ra akibat tertular teman-teman sepermainannya. Mereka kompak menasbihkan klakson bis telolet sebagai yang paling  kekinian, trend yang wajib diikuti bila tidak mau dicap ketinggalan, tidak ingin plonga-plongo disetiap obrolan. Maka yang terjadi sekarang adalah setelah pulang sekolah di pojok teras rumah entah siapa berkerumun beberapa anak, khusuk memelototi hape masing-masing, pamer video klakson telolet paling mutakhir kemudian saling tukar menukar video dan gambar bis. Main bola di jalan protokol kampung tiap sore tidak sesering dulu. Aktifitas fisik yang dilakukan paling bersepeda barang setengah jam, itupun sebagai ajang unjuk gigi kemampuan mulut-mulut mungil itu untuk menunjukkan siapa yang paling fasih menirukan bunyi klakson telolet.

Mau bagaimana lagi, telepon seluler sudah menjadi kebutuhan primer anak jaman sekarang. Di kampungku, mayoritas penduduknya bekerja di sawah dan di pasar. Selepas subuh si bapak mengantar sang istri pergi ke pasar untuk berjualan sayur mayur sebelum dirinya bergegas ke sawah. Biasanya si anak masih pulas dalam tidurnya, bangun ketika dia akan berangkat ke sekolah. Orangtuanya hanya mengangguk ketika si anak meminta hape android yang tentu saja terkoneksi dengan internet, berdalih untuk menunjang keperluan sekolah. Pun mereka tak paham ketika si anak mengunduh hal yang belum pantas mereka lihat. Tak perlu dipungkiri, anak-anak sekarang mengetahui hal yang berbau sex dari internet, entah mereka mencari sendiri dengan berselancar di jagat maya, atau mendapat gratis dari hasil unduhan teman-teman sebaya mereka. Pernah suatu ketika aku iseng bertanya kepada Ra, selain video bis, mas Ael liat video yang saru-saru ga? Iya, jawab Ra. Dia telah paham konsep saru-saru yang aku maksud. Apaan? Lanjutku. Itu, perempuan menjilati itunya laki-laki. Astaga. Dia melihat adegan blowjob. Antara kaget dan bersyukur atas keterbukaan sikapnya kepadaku, aku berusaha memberi pengertian dengan tenang. Aku katakan kepadanya, hal itu tidak boleh dilihat oleh mas Ael, apalagi dilakukan, karena mas Ael masih anak kecil. Nanti kalau mas Ael sudah besar, sudah kuliah, mas Ael akan mengerti kenapa anak kecil tidak boleh melihat hal seperti itu. Dan itu juga berdosa. Oke, aku membawa-bawa tuhan disini. Aku jelaskan kepadanya, mas Ael tau kan, di sekolah pak guru tidak bersalaman dengan anak putri, dan sebaliknya (Ra bersekolah di SDIT), karena apa? Karena itu larangan agama. Dan mengalirlah penjelasanku secara umum tentang apa itu muhrim dan mahrom.

Balik ke klakson telolet. Di pusat kota kecamatan yang hanya tersedia satu lampu merah di jalan utamanya, setiap hari memberangkatkan puluhan perantau yang akan mengadu nasib di belantara Jakarta dan sekitarnya. Para petarung kehidupan tersebut diangkut oleh beberapa armada bis di agen-agen bis yang tersedia di pojok pertigaan jalan tersebut. Bis-bis itulah yang menjadi sasaran anak-anak untuk direkam atau dipotret tiap hari Minggu. Sekitar jam 10 pagi ketika bis keluar dari pangkalan, anak-anak sudah standby dengan hape di tangan kiri dan tangan kanan mengacungkan jempol berharap pak sopir bermurah hati membunyikan klakson teloletnya agar hasil jerih payah merekam bis favorit mereka terlihat spektakuler di mata teman-teman mereka. Wajah bungah dan senyum sumringah juga tawa tergelak sontak muncul ketika pak sopir mengabulkan permohonan mereka. Belum lagi ketika gerombolan anak-anak tersebut menyerbu terminal bayangan di daerah Giribangun, area pemakaman Pak Harto, presiden RI ke 2. Di sepanjang pinggir jalan menanjak tersebut ramai anak-anak dengan setia menanti kedatangan bis-bis pariwisata dari luar daerah yang mengangkut peziarah untuk ngalap berkah. Tak jarang ketika Ra membonceng sepeda motor di belakang kemudian berpapasan dengan bis AKAP, jempol tangan kanannya langsung teracung sembari berteriak kencang, klaksonnya dulu oooommmm….. disela antusiasmenya menceritakan perang telolet antara bis SCH (Scorpion Holiday) dan Pandawa 87. Dan aku tertawa-tawa mendengar celotehannya.

Oh ya, perkara anak konstan membuat orangtuanya tertawa, entah apapun polahnya, tak perlu kau risau memikirkan kenapa. Itu urusan DNA, titik.

TRIP

Posted in Uncategorized on Januari 21, 2016 by monskill

Jujur, saya jarang mengajak ibu saya piknik. Alasan utamanya apalagi kalau bukan duit. Dan waktu. Namun beberapa minggu yang lalu saya berkesempatan nderekke beliau ke sebuah acara pengajian akbar di Jakarta. Jadilah kemarin itu mengikuti pengajian sekalian ‘kota-kota’ (istilah buat orang kampung yang pergi jauh keluar dari daerah asal). Jangan dibalik – plesir sembari pengajian – nanti pahalanya berkurang.

Kira-kira sebulan sebelum keberangkatan saya berburu tiket kereta api. Sebenarnya untuk efisiensi waktu, menggunakan moda transportasi udara bisa menjadi pilihan, namun karena terkendala budget, akhirnya pilihan jatuh ke kereta api kelas ekonomi AC. Dulu sempat saya membawa ibu ke Jakarta dengan kereta ekonomi biasa (sekarang sudah dilengkapi AC yang tidak begitu dingin karena terlalu padatnya populasi manusia dalam gerbong) dengan formasi kursi A B C (lajur kanan) dan C D (lajur kiri). Memang lebih sesak dan sempit dibandingkan kereta ekonomi AC yang formasi tempat duduknya hanya A B dan C D, mirip kereta kelas bisnis, hanya bedanya kereta kami kursinya saling berhadapan, sedangkan kereta bisnis kursinya sejajar dengan arah laju kereta dan bisa diformat saling berhadapan. Karena kami berempat (saya, ibu saya, Ra, dan Caca), saya berusaha mencari nomer kursi yang berurutan agar nantinya kami bisa berkumpul di satu gerbong. Dan itu susah, mungkin karena kami memesan secara on-line (adik saya yang melakukan pemesanan), pilihan kursi yang tersedia tidak sesuai harapan. Jadilah kami terpisah meskipun masih satu gerbong. Kami mendapatkan kereta Bogowonto untuk pergi ke Jakarta dan pulang menggunakan kereta Krakatau.

Hari keberangkatan tiba. Kami diantar adik saya sampai Stasiun Lempuyangan, Yogjakarta, karena eh karena tiket kereta api dari Solo langsung Jakarta sudah habis. Tak perlu menunggu lama, kereta Bogowonto datang tepat jam 9 pagi. Berkat kebaikan dua mbak-mbak cakep yang sudi bertukar tempat duduk, akhirnya kami bisa berkumpul di kursi yang saling berhadapan. Perjalanan cukup menyenangkan dengan pemandangan hamparan hijau pepohonan di sepanjang sisi kanan kiri rel. Ra yang memang tergila-gila naik kereta api tak henti menunjukkan kehebohannya. Caca tenggelam dalam alunan lirih suara Bieber – ibunya melarang membawa headset agar perhatiannya tidak hanya terfokus pada musik di telinganya. Saya melakukan koordinasi lebih lanjut dengan seorang teman baik saya di Jakarta, namanya Ami, untuk membahas tempat menginap selama kami di Jakarta. Untunglah jauh hari sebelumnya saya sudah booking penginapan yang saya maksud, Ami tinggal memastikan kamar yang saya pesan telah siap kami tempati.

Jam 6 sore kereta kami tiba di Stasiun Pasar Senen. Tanpa babibu kami langsung meluncur ke hotel dimana Ami telah menunggu menyambut kedatangan kami. Hotel yang saya pilih namanya Lorimo, bukan hotel berbintang namun cukup representatif bagi ukuran kami. Terletak pesis di depan Pasar Gandaria. Bangunan hotel masih baru jadi nampak bersih dan rapi, berdekatan dengan pusat grosir Metro Tanah Abang. Kami menyewa satu kamar double-bed seharga 250K per malam, tidak terlalu mahal sesuai dengan fasilitas yang diberikan. Omong punya omong, demi memaksimalkan waktu yang ada, kami mengajak Ami tour de mall. Jangan salah, pergi ke mall bagi orang udik termasuk agenda wisata meskipun satu dua kali ibu sudah pernah menyambangi Grand Mall di Solo dan Ambarukma Plaza di Yogyakarta, pergi ke mall di Jakarta tetap membuat ibu bungah. Setelah istirahat sejenak dan badan bugar diguyur air mandi, kami bergegas menuju Grand Indonesia menggunakan bajaj. Ini pengalaman baru bagi ibu, Ra dan Caca yang seumur hidup belum pernah naik bajaj. Sepanjang jalan kami tak henti berceloteh mengomentari apapun, Ami pun tak jemu menunjukkan ini-itu, hal-hal yang tak akan kami jumpai di kampung. Sesampainya di Grand Indonesia tentu saja ibu saya takjub walaupun tidak sampai melongo. Beliau hanya berkomentar singkat, wajah wanita-wanita yang sering nongol di tivi bertebaran dimari. Yoi mom, sahut saya sambil tertawa. Kami sekedar melihat-lihat karena kegilaan semacam sebuah tas jinjing branded bisa senilai kontrakan saya di Yogyakarta selama setahun memang bukan konsumsi kami. Ami hanya mengangkat bahu sembari nyengir, artificial happiness for fake life, katanya singkat. Setelah puas berkeliling  dan sempat menikmati egg-waffle yang rasanya mirip kue serabi, kami bergegas kembali ke hotel dan tidur dengan pulas.

Wisata belanja adalah agenda pertama kami pada keesokan harinya. Pagi-pagi sekitar jam 8 kami sudah keluar dari hotel berjalan kaki menuju pusat perbelanjaan Metro Tanah Abang. Saya membeli beberapa potong baju untuk melengkapi dagangan kios pakaian saya di kampung sedangkan ibu cukup melihat-lihat saja, rupanya ibu belum menemukan barang yang menarik hati. Ra dan Caca tak henti menggerutu karena harus berjalan kaki yang menurut mereka jaraknya jauh. Kami memang orang kampung yang sok, telapak kaki kami tak pernah lagi menjejak lumpur sawah karena itu tugas generasi tua dan kami memilih menggunakan sepeda motor tiap pergi ke pasar yang jaraknya tak sampai satu kilometer dari rumah kami. Modernitas melindas kami tanpa ampun, suatu saat nanti manusia lupa bahwa tuhan telah memberi alat untuk berjalan yaitu kaki.

Sedianya setelah dari Metro Tanah Abang kami akan diantar Ami ke Taman Ismail Marjuki (TIM) demi memuaskan keingintahuan anak-anak tentang astronomi dengan mengunjungi planetarium di TIM. Untung tak dapat diraih, beberapa hari sebelumnya planetarium ditutup karena kerusakan teleskop. Putar haluan kami memutuskan ke Mangga Dua agar ibu puas cuci mata. Karena ibu, Ra dan Caca belum pernah merasakan apa itu naik KRL dan Transjakarta, kami menggunakan dua moda transportasi tersebut. Sistem pembayaran KRL dan Transjakarta menggunakan e-ticketing sehingga kami cukup mengikuti Ami yang sigap membimbing kami setiap melewati turnstile di halte bis maupun stasiun kereta. Kami juga berkesempatan naik bus City Tour Jakarta (Enjoy Jakarta) yaitu bus tingkat gratis yang disediakan Premprov DKI untuk berkeliling kota Jakarta. Betapa senangnya Ra, sepanjang perjalanan mulutnya tak henti mengoceh, meluapkan apapun yang terlintas di benaknya.

Menjelang  sore rasa lapar mendera. Ami menggiring kami ke Platinum, restoran yang berkonsep family-friendly di lantai dua pusat perbelanjaan Sarinah, tidak jauh dari tempat kami menginap. Lagi-lagi orang kampung, makan di restoran memang punya sensasi berbeda dibanding warung mie ayam jamur Mas Slamet yang semangkok ayam jago itu cukup lima ribu perak. Ketika pesanan minuman ocha dingin datang kami sempat berdebat. Di benak kami minuman ocha pasti ada unsur teh-nya, baik dari segi penampakan maupun saat menyentuh lidah. Ini jauh dari deskripsi tersebut, yang ada adalah mug keramik dengan hiasan corak hijau gelap berisi air putih tanpa rasa yang mirip air es. Saking penasarannya kami memangggil pelayan restoran meminta penjelasan, jangan-jangan mereka salah penyajian. Mas pelayan berujar, memang seperti itulah ocha. Oke, kata saya sembari menuang minuman tersebut ke gelas bening bekas lemon tea yang telah tandas. Gotcha, cairan tersebut memang nampak kehijauan, bukan bening seperti air putih. Setelah perut puas terisi, kami bergegas kembali ke hotel untuk beristirahat.

Esok harinya kami bersiap-siap mengikuti acara inti yaitu pengajian akbar di Gelora Bung Karno yang kabarnya dihadiri sekitar delapan puluh ribu peserta. Perhitungan waktu check-out kami meleset satu jam – seharusnya keluar hotel jam 7, namun jam 8 kami baru keluar hotel. Al hasil kami terjebak kemacetan karena hari Minggu bertepatan dengan CFD sehingga banyak jalan utama yang ditutup. Bersyukur pak sopir taksi dan Ami hafal rute tembusan melewati gang-gang kecil menuju GBK. Sekitar jam 9 lewat kami sampai di tempat acara. Dua jam lebih kami mengikuti pengajian kemudian bergegas menuju stasiun karena harus mengejar kereta jam 1 siang. Ami tetap menemani sampai kami masuk ke stasiun dan pengantar dilarang masuk, disitulah kami berpisah dengan Ami.

Karena hidup tidak selalu sesuai rencana, kami harus menerima kenyataan bahwa kereta kami delay selama 8 jam. Delapan jam, sodara. Bayangkan apa yang bisa kami lakukan di stasiun selama kurun waktu tersebut. Ada kereta yang anjlok di stasiun Rangkasbitung yang menyebabkan keterlambatan kereta kami, begitulah pengumuman yang disampaikan petugas stasiun. Namun rumor yang beredar adalah kereta kami sengaja ditunda keberangkatannya untuk mendahulukan kereta eksekutif dan bisnis dikarenakan lonjakan penumpang  di dua kelas kereta tersebut berhubung kemarin adalah peak season. Apapun alasannya kami tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Tidak perlu juga dijelaskan apakah kami menunggu dengan sabar atau menggerutu, karena kompensasi pihak stasiun berupa sepotong donat dan segelas air mineral tentu tidak berhasil menutupi kekecewaan. Jam 6 sore kereta kami baru datang. Bagaimanapun tidak menyenangkannya perjalanan pulang kami, kami bersyukur keesokan harinya kami tiba dengan selamat di stasiun Purwosari dan adik ipar saya sudah menunggu untuk mengantar kami pulang ke rumah. Dan tentu saja semua itu tidak membuat kami jera untuk melakukan piknik bersama kembali, entah kapan, entah kemana.

Oh, ini ada beberapa catatan agar piknik kami kelak lebih asyik : 1) bila menggunakan moda transportasi kereta kelas ekonomi AC lebih baik memesan tiket langsung di stasiun karena bisa leluasa memesan tempat duduk dibandingkan pemesanan secara online meskipun konsekuensinya harus meluangkan waktu beberapa jam untuk menunggu antrian. 2) bila menggunakan moda trasnportasi kereta kelas ekonomi AC dan ada kelonggaran budget lebih baik menggunakan kereta kelas bisnis agar lebih nyaman karena perbedaan harga tiketnya tidak terlalu jauh. 3) apabila acara piknik satu paket dengan satu acara yang lebih penting, semisal pengajian, pastikan pengajian berada di tengah-tengah jadwal piknik. Misalnya pengajian dilaksanakan hari Minggu maka jadwal keberangkatan bisa hari Rabu/Kamis dan pulang hari Senin/Selasa agar lebih khusuk mengikuti pengajian.

Oke, begitulah acara piknik kami kemarin karena hidup terlalu singkat untuk tidak piknik dengan orang yang kalian sayang.

Sampah

Posted in Uncategorized on Desember 5, 2015 by monskill

Pada satu momen dialog imajiner, gue ditanya begini : dari gerombolan manusia menyebalkan yang mau-tak-mau lu temui setiap hari, golongan mana yang menempati piramid teratas? Gue jawab : orang yang membuang sampah sembarangan. Itu jawaban default. Tak ada celah excuse untuk tindakan ‘sepele’ tersebut. Itu juga sebagai patokan dasar untuk menilai kapasitas seseorang saat jumpa pertama, perhatikan bagaimana dia memperlakukan sampah. Oh tentu saja kalian pandai mengelak. Apa sih masalah lu, membuang sampah saja dibesar-besarkan, toh ada petugas kebersihan, kita membayar pajak (yang tidak membayar ikut mengklaim) untuk menggaji mereka. Ada hal lebih krusial yang dihadapi bangsa ini, korupsi misalnya, atau moral anak muda yang semakin merosor karena jauh dari nilai-nilai agama dan overdosis main COC. Wow. Super sekali. Mengurus sampah belum becus sudah pintar bicara korupsi dan moral orang lain. Bayangkan jika penduduk Indonesia serempak berfikir seperti itu. Tak heran NKRI mati gaya melulu, isinya manusia-manusia seperti itu.

Maaf. Gue sedang gemas setiap hari menghadapi jenis manusia seperti itu. Tidak teman sendiri (beberapa), tidak orang asing yang gue temui di jalan, di stasiun atau tempat pengajian, sama saja. Dan sialnya, gue belom bisa cuek. Kalau anggota keluarga atau teman dekat, gue masih bisa mengingatkan. Kalau orang lain, gue hanya bisa menyimpan rasa jengkel. Di rumah, ibu gue lumayan strict masalah sampah. Beliau mempelopori pemisahan sampah rumah tangga, sampah organik langsung dilempar ke kebun belakang rumah dan otomatis menjadi humus, sedangkan plastik dan sejenisnya dikumpulkan kemudian dibakar. Dan ya, rumah gue di kampung jadi masih memungkinkan untuk pembakaran sampah. Beda cerita dengan kalian yang berdesakan di pemukiman padat penduduk.

Menurut pendapat gue, kesadaran akan sampah terbangun dari lingkungan dan pergaulan. Sejak dini gue menanamkan prinsip kepada Ra bahwa membuang sampah pada tempatnya itu penting, lebih penting dari kegiatan hafalan Al-Qur’an yang menjadi rutinitasnya sebelum tidur. Menjadi hafidz itu manfaatnya untuk dirinya sendiri, sedangkan tertib membuang sampah pada tempatnya akan berdampak bagi dirinya dan orang lain. Saat menonton film Wall-E dia berkomentar, itulah akibat dari manusia yang membuang sampah sembarangan. Bumi rusak, menjelma menjadi tempat sampah raksasa dan manusia dipaksa mengungsi. Masih untung saat itu manusia telah berhasil menemukan teknologi yang bisa mengevakuasi penduduk bumi dengan mengangkutnya di sebuah kapal terbang besar untuk dijadikan tempat tinggal. Jika tidak, manusia dan mahkluk hidup lain akan punah, yang tersisa hanya robot pengangkut sampah dan kecoa.

Kesadaran akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya bukan pula dibentuk dari produk edukasi. Lihatlah Pipin Suryana, tukang ojek di Papandayan yang menginisiasi program penghijauan di lereng gunung tersebut. Sekolah Dasar pun dia tak tamat. Orang hebat yang tersisa di Indonesia, yang lolos dari sorotan media, kalah moncer dari Setya Novanto. Oh kalian tak perlu segila dia yang mencangkuli lapangan seorang diri untuk dijadikan bendungan penampungan air. Buanglah sampah pada tempatnya, itu sudah cukup. Jika meninggalkan warisan kepada anak-cucu sebuah tempat hidup yang layak huni itu angan-angan yang terlalu jauh, cukuplah berhenti membuat kerusakan di lingkungan sekitar kalian dengan tidak menyampah sembarangan. Itu kalau isi kepala kalian otak, bukan tai.