Arsip untuk Maret, 2016

FOM : sisokrebel yang satu itu…

Posted in Uncategorized on Maret 25, 2016 by monskill

Setiap perjumpaan terselip pembelajaran. Saya percaya itu. Saya sudah membuktikan. Barusan.

Dulu, mantan pasangan saya sudi membuang air kencing saya di kantong plastik penampungan pas saya tergeletak di ranjang rumah sakit paska operasi. Saya tersentuh. Dengan menggebu saya ceritakan peristiwa itu ke teman saya. Teman saya hanya mencibir. Sudah sepantasnya seperti itu, tak ada istimewanya. Saya melongo.

Kamu tidak mengalami itu.

Dulu, sebangsat apapun mantan pasangan saya, saat di dekatnya perut saya tak pernah kelaparan. Seperti ada kesepakatan tidak tertulis bahwa urusan perut terlalu sepele sebagai pemicu perpisahan. Bahwa jika perutmu kempis, maka kewajibanku adalah membikin perutmu kembali buncit. Atau aku kempiskan pula perutku. Dan sebaliknya. Maksudku, ini hanya tentang kegiatan makan rutin sehari-hari, titik. Jangan diperlebar dengan kebutuhan sekunder lain.

Kamu tidak mengalami itu.

Dulu, semurka apapun saya dengan mantan pasangan saya, amat jarang kami bertengkar sampai menaikkan desibel suara diatas rata-rata, apalagi dihadapan khalayak. Kami cukup pandai menyimpan cela diri sehingga yang orang mengerti tak sampai hitungan sepuluh jari. Saya tak perlu memboroskan energi untuk mengumpati tingkah keparat mantan pasangan saya karena kami saling menyakiti dalam sunyi.

Kamu tidak mengalami itu.

Sedari dulu, saya terlalu sombong untuk tergantung dengan pihak lain. Saya segan membikin orang kerepotan karena urusan pribadi saya. Segala sesuatu semaksimalnya saya lakukan sendiri, walaupun gagal datang berkali-kali, saya tak jera jua. Pantang bagi saya merengek remeh temeh tak penting ini itu. Sialnya, kebiasaan saya ini menjadi bom bunuh diri dan bisa jadi berkontribusi ketidakbecusan saya dalam menjalin suatu hubungan. Antara perasaan tidak dibutuhkan dan kemalasan berbuat baik kepada saya, saya ditinggalkan.

Kamu tidak mengalami itu. Belum.

Dulu, punggung saya pernah membiru karena darah yang membeku dihajar kursi plastik disertai caci maki bertubi-tubi. Juga bilur-bilur berbentuk garis memanjang berwarna merah tua karena kulit yang terkelupas. Dalam bisu saya merapal mantra : jangan mati… jangan mati… Sampai sekarang bilur-bilur itu masih setia bersemanyam di sudut hati.

Kamu tidak mengalami itu. Jangan sampai.

Kemudian saya sampai pada satu titik kesadaran bahwa hidup semua orang itu payah. Entah di level yang mana. Dan mereka berusaha mati-matian menampakkan kesan bahwa hidup mereka baik-baik saja. Mereka menutupinya dengan mengumbar keceriaan bombastis yang membuat mual. Tak ada yang salah dengan itu, toh itulah kebahagiaan mereka. Mungkin itulah satu-satunya cara untuk mengaburkan lubang hati yang menganga.

Jadi hei kamu yang disana, aku katakan, kebahagianmu, apapun sebutannya, kamu sendirilah yang berhak menciptakannya. Berhenti membuat pengharapan karena itulah sumber penderitaan, kata Iwan Fals. Berhenti memandang rumput tetangga yang nampak lebih hijau, jika kamu dekati ternyata itu rumput imitasi.

Peluk dan cium buat kamu disana.